Pelajaran dari Wajan dan Tepukan Adonan
Pagi di Xinyang selalu berbau minyak wijen dan udara lembap yang hangat. Di pinggir jalan, terdapat adonan tipis yang diputar di atas wajan datar. Telur dipecahkan dan diratakan perlahan. Setiap gerakannya seperti diatur oleh kebiasaan yang turun-temurun. Tidak terburu-buru, tidak juga lambat. Dari wajan itu lahir Dan Bing, pancake isi telur khas Xinyang, yang digulung rapi, disiram saus asin manis, lalu dipotong-potong dengan pisau kecil yang tajam.
Bagi orang Xinyang, sarapan ini bukan sekadar makanan. Pancake bulat yang berlapis telur itu dianggap sebagai sebuah simbol keutuhan dan keberlanjutan hidup. telur di dalamnya mewakili yuanqi, yaitu energi kehidupan yang baru setiap hari. Bentuknya yang melingkar melambangkan rezeki yang berputar, dan cara membuatnya yang sabat menunjukkan filosofi dasar masyarakat Henan: hidup yang baik lahir dari keseimbangan antara tangan dan hati.

Mereka percaya, seseorang yang tahu cara membuat pancake dengan sabar, tahu juga cara menghadapi hidup. Tidak bisa terlalu cepat, tidak bisa terlalu keras. Jika adonan dibalik terlalu dini, ia gosong di satu sisi; jika terlambat, ia kehilangan tekstur renyahnya. Hidup pun begitu: waktunya harus tepat.
Biasanya pancake ini disajikan dengan tomat rebus, hidangan sederhana yang memberi warna pada meja. Tomat diolah tanpa banyak bumbu, hanya direbus hingga kulitnya pecah dan dagingnya lembut, lalu diberi sedikit garam dan gula. Rasanya asam-manis, segar, sekaligus menenangkan. Dalam filosofi Tionghoa, tomat melambangkan he, keharmonisan. Ia tidak menonjol, tapi kehadirannya menyatukan rasa lain. Saat tomat menemani pancake isi telur, ada keselarasan: lembut dan asam, padat dan cair, hangat dan sejuk.
Beranjak ke barat, di kota Xi’an, yang dulunya menjadi gerbang Jalur Sutra, ritme makan berubah. Di sini, setiap suara punya tenaga: hentakan kayu, tepukan adonan, dan gelegar “biang! biang!” yang memberi nama pada mie Biang Biang, mie lebar dan kenyal dari tanah Shaanxi. Pembuatnya menarik adonan panjang, lalu membenturkannya ke meja kayu hingga menimbulkan suara khas. Bunyi itu bukan sekadar efek dapur; ia adalah ritme kehidupan di barat laut Tiongkok, wilayah yang keras dan kering, tempat orang-orang belajar bertahan.

Huruf “biang” yang mewakili mie ini begitu rumit sebab terdiri dari lebih dari lima puluh goresan, dan bahkan tidak ada dalam kamus resmi. Orang-orang mengatakan, kerumitannya mencerminkan kehidupan yang sulit tapi indah, penuh tenaga dan ketekunan. Mie Biang Biang sendiri disajikan dengan minyak cabai, bawang putih, cuka hitam, sayuran, dan telur rebus. Setiap bahan punya filosofi: cabai untuk semangat, cuka untuk keseimbangan, telur untuk kehidupan baru.
Yang menarik, beberapa tahun terakhir muncul tren menggabungkan dua hidangan ini, yaitu pancake isi telur Xinyang dan mie Biang Biang Xi’an, disajikan dalam satu mangkuk bersama tomat rebus dan telur di atasnya. Secara kasat mata, ini hanyalah perpaduan makanan dari dua kota berbeda, tapi secara makna, ia bercerita tentang pertemuan dua cara hidup: yang satu lembut dan teratur, yang lain kuat dan liar.
Saat suapan pertama masuk ke mulut, rasa itu terasa saling mengisi. Gurih pancake menenangkan pedas mie, asam tomat menyejukkan minyak cabai, dan telur di atasnya mempersatukan semuanya dalam rasa yang bulat. Seolah dua dunia yang berbeda belajar berbicara dalam bahasa yang sama. Ada keselarasan yang jujur di sana. Bukan karena mereka sama, tapi karena mereka tahu bagaimana saling menyeimbangkan.
Dalam setiap gigitannya tersimpan kisah panjang manusia yang belajar dari dapur. Pancake Xinyang mengajarkan ketenangan, bahwa hidup yang baik lahir dari tangan yang sabar dan hati yang tenang. Mie Biang Biang mengajarkan keberanian, bahwa hidup yang indah sering dimulai dari benturan dan keteguhan. Tomat rebus mengajarkan harmoni, bahwa kadang hal paling sederhana justru menjadi jembatan di antara perbedaan.
Ketika seseorang duduk menikmati hidangan ini, pancake yang lembut, mie yang kenyal, tomat yang hangat, ia mungkin tak sedang makan semata, melainkan sedang mengenang hal-hal yang lebih dalam: tentang rumah, tentang waktu yang berlalu, tentang keseimbangan yang terus dicari.
Karena sejatinya, kuliner bukan hanya soal rasa. Ia adalah cermin dari kehidupan—di mana kerja keras bertemu kehangatan, di mana kesabaran bertemu keberanian. Dari wajan panas Xinyang hingga meja kayu Xi’an, semuanya mengajarkan hal yang sama: hidup yang baik adalah hidup yang memiliki rasa asin, manis, asam, pedas. Semuanya hadir, dan semuanya diterima.