Artikel “Albertus Soegijapranata” – Kelompok 4

Artikel “Albertus Soegijapranata” – Kelompok 4

Merajut Kembali Tenun Kebangsaan dengan Semangat Soegijapranata

Di tengah riuh rendah polarisasi politik dan derasnya arus globalisasi, Indonesia seperti kehilangan pusat gravitasinya. Isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dengan mudah memecah belah, sementara kesenjangan sosial semakin melebar. Dalam situasi yang penuh tantangan ini, kita patut merenungkan kembali teladan seorang tokoh yang hampir terlupakan: Mgr. Albertus Soegijapranata, S.J. dengan semboyannya “100% Katolik, 100% Indonesia.”

Semangat Soegijapranata bukan sekadar slogan dari masa lalu, melainkan jawaban yang relevan untuk persoalan bangsa hari ini. Nasionalismenya yang mempersatukan, keberanian moralnya, serta kepeduliannya yang tulus pada kaum tertindas justru menjadi obat yang dibutuhkan untuk menyembuhkan luka-luka kebangsaan kita.

Relevansi pertama terletak pada konsep nasionalisme inklusif yang diusungnya. Berbeda dengan chauvinisme yang sempit, nasionalisme Soegijapranata merayakan keberagaman sebagai kekuatan. Dalam konteks kekinian, semangat ini mengajak kita untuk membangun ruang-ruang dialog yang konstruktif, baik melalui pendidikan multikultural di sekolah-sekolah maupun melalui jejaring kerja sama lintas identitas di masyarakat. Inilah wujud nyata dari Sila ketiga Pancasila yang hidup dan bernafas.

Yang tak kalah penting adalah keberanian moral yang ditunjukkan Soegijapranata. Dia berani menyuarakan kebenaran, baik kepada penguasa kolonial Belanda maupun hingga ke Vatikan. Nilai ini berakar dari Kitab Suci, “Bebaskanlah orang yang tertindas” (Yesaya 1:17). Di era saat ini yang dipenuhi hoaks dan korupsi, kita sangat membutuhkan keteladanannya. Keberanian moral bukan hanya soal berani bersuara, tetapi lebih penting lagi, berani bertindak benar meski menghadapi tekanan.

Aspek ketiga yang tak boleh diabaikan adalah solidaritasnya yang konkret pada kaum tertindas. Soegijapranata tidak hanya berteori tentang iman, tetapi mewujudkannya dalam pembelaan pada mereka yang terpinggirkan. Di tengah kesenjangan ekonomi yang masih lebar, semangat ini mendorong kita untuk bergerak, selaras dengan amanat konstitusi dalam Pembukaan UUD 1945 tentang “memajukan kesejahteraan umum” yang menuntut komitmen nyata untuk tidak meninggalkan seorang pun dalam pembangunan.

Dalam praktiknya, meneladani Soegijapranata dapat dimulai dari hal-hal sederhana. Di lingkungan keluarga, kita dapat menanamkan nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan. Di dunia pendidikan, guru dapat mengintegrasikan nilai-nilai kebangsaan dalam setiap mata pelajaran, tidak hanya terbatas pada Pendidikan Kewarganegaraan. Di media sosial, setiap warganet dapat menjadi agen perdamaian dengan menyebarkan konten-konten yang mempersatukan misalnya di Instagram, Facebook, ataupun Tiktok.

Di tingkat masyarakat, kerja sama lintas agama dan budaya perlu digalakkan. Kegiatan bakti sosial bersama, dialog antar agama, dan program pemberdayaan masyarakat yang melibatkan berbagai kelompok dapat memperkuat rasa persaudaraan. Para pemimpin agama dapat meneladani Soegijapranata dengan tidak hanya fokus pada urusan umatnya, tetapi juga aktif membangun dialog dan kerja sama untuk kebaikan bersama.

Dalam bidang ekonomi, semangat Soegijapranata mengajak kita untuk lebih peka terhadap ketimpangan yang ada. Dengan memilih produk lokal, mendukung usaha kecil, dan peduli terhadap nasib buruh dan petani, kita telah menerapkan nilai-nilai keadilan sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Warisan terbesar Soegijapranata bukan hanya pada apa yang telah dia lakukan di masanya, tetapi pada semangatnya yang terus relevan untuk membimbing kita merajut kembali tenun kebangsaan yang mulai tercabik. Menjadi “100% Indonesia” hari ini berarti menjadi manusia yang sepenuhnya membela martabat dan persatuan seluruh rakyatnya, tanpa terkecuali.

Dalam setiap tindakan kita, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat, kita dapat menghidupkan kembali semangat Soegijapranata. Mulai dari hal kecil seperti menghargai perbedaan pendapat, hingga hal besar seperti berani melawan ketidakadilan. Dengan konsistensi dan komitmen bersama, kita dapat mewujudkan Indonesia yang lebih inklusif, berkeadilan, dan bermartabat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top