Esai “Anakletus Tjilik Riwut” – Kelompok 5

Esai “Anakletus Tjilik Riwut” – Kelompok 5

Anakletus Tjilik Riwut adalah pahlawan nasional dari Kalimantan Tengah yang dikenal sebagai pejuang identitas Dayak sekaligus penjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terdapat dua peran Tjilik Riwut dalam sejarah Indonesia yang keduanya saling melengkapi. Pertama, ia adalah pejuang identitas Dayak. Ia berjuang tanpa lelah untuk mengangkat harkat dan martabat suku Dayak, yang pada masanya sering kali terpinggirkan. Puncak dari perjuangan ini adalah pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1957, sebuah provinsi yang ia cita-citakan sebagai “rumah” bagi masyarakat Dayak untuk berkembang sesuai dengan adat dan budayanya. Kedua, ia adalah penjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perjuangan identitas kedaerahannya tidak pernah berseberangan dengan semangat nasionalisme. Namun sebaliknya ia melihat bahwa Indonesia yang kuat adalah Indonesia yang menghargai dan merawat keragaman budayanya. Ia juga menjadi jembatan penting antara masyarakat Dayak dan pemerintah pusat serta membuktikan bahwa identitas lokal adalah fondasi dan bukan ancaman bagi persatuan nasional.


Dari kisah hidupnya terdapat beberapa nilai yang dapat diteladani, yaitu semangat persatuan, pelestarian budaya, cinta tanah air, dan pengabdian kepada masyarakat. Nilai-nilai ini tidak hanya menjadi warisan sejarah tetapi juga pedoman moral yang tetap penting di tengah tantangan zaman. Di era globalisasi ini, masyarakat Indonesia menghadapi arus informasi cepat, pengaruh budaya asing, dan potensi perpecahan akibat politik identitas. Semangat persatuan, pelestarian budaya lokal, dan kepedulian sosial penting untuk senantiasa dijalankan agar bangsa tetap utuh dan tidak kehilangan identitasnya.
Sebagai seorang katolik, Anakletus berhasil menunjukkan hubungan yang kuat dari nilai-nilai perjuangan dengan ajaran yang tertuang dalam Kitab Suci (Alkitab). Semangat persatuannya selaras dengan doa Yesus dalam Yohanes 17:21, “Supaya mereka semua menjadi satu.” Lalu prinsip “Huma Betang” yang ia miliki adalah cerminan nyata dari perintah kasih dalam Matius 22:39, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Ia melihat setiap suku dan golongan sebagai sesama yang harus dihormati dan dirangkul dalam satu rumah besar bernama Indonesia. Pengabdiannya kepada masyarakat adalah bentuk penerapan dari prinsip kepemimpinan yang melayani (servant leadership) yang diajarkan Kristus. Dalam Markus 10:45 disebutkan, “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.” Perjuangan untuk sukunya juga menggambarkan belas kasih yang ia berikan pada kaum terpinggirkan mencerminkan belas kasih dan keberpihakan kepada yang lemah dan terpinggirkan. Rasa cinta tanah air yang dia miliki dapat dipandang sebagai bentuk tanggung jawab iman. Kitab Suci mengajarkan umat untuk menjadi garam dan terang bagi dunianya (Matius 5:13-16) serta mendoakan dan mengusahakan kesejahteraan kota di mana mereka tinggal (Yeremia 29:7). Dengan membangun daerahnya dan menjaga keutuhan bangsa, Tjilik Riwut menjalankan firman dan perintah Allah untuk membawa kebaikan bagi negerinya.


Perjuangan hidup yang dijalani oleh Anakletus Tjilik Riwut merupakan sebuah perwujudan yang sangat mendalam dan utuh dari kelima keutamaan Vinsensian, yang mana setiap kebaikan tersebut saling mengalir dan menguatkan satu sama lain dalam seluruh tindakannya. Berakar kuat pada kerendahan hati, ia secara tulus meneladani spiritualitas Kristus yang datang ke dunia “bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani,” sebagaimana tertuang dalam Injil Markus 10:45. Sikap inilah yang membuatnya selalu memposisikan diri sebagai seorang abdi bagi masyarakat, bukan penguasa yang haus akan penghormatan. Lalu didukung dengan nilai kelemahlembutan yang ia tunjukkan dalam prinsip “Huma Betang.” Melalui prinsip ini, ia tidak menggunakan cara-cara yang keras atau memaksa, melainkan dengan sabar dan penuh kasih merangkul setiap suku dan golongan untuk hidup bersama, yang merupakan cerminan langsung dari perintah kasih dalam Matius 22:39. Visi perjuangannya pun dilandasi oleh kesederhanaan yang murni, dimana ia hidup dengan tujuan sangat jelas dan lurus, yaitu mewujudkan persatuan bangsa yang selaras dengan doa tulus Yesus dalam Yohanes 17:21, tanpa adanya agenda-agenda pribadi atau niat tersembunyi yang rumit. Ia juga mempraktekkan semangat mati raga, dimana ia secara konsisten bersedia mengorbankan kenyamanan, kepentingan, dan bahkan keselamatan dirinya sendiri demi memperjuangkan nasib dan martabat bangsanya. Dan untuk melengkapi semuanya, keutamaan yang ia hidupi ini diarahkan pada satu tujuan akhir yang mulia, yaitu untuk penyelamatan jiwa-jiwa. Misi penyelamatan tidak hanya sebatas urusan rohani di akhirat, tetapi juga sebagai perjuangan untuk membebaskan sesamanya dari keterpinggiran, mengangkat harkat dan martabat mereka, serta mengusahakan kesejahteraan di dunia, layaknya tugas seorang vinsensian untuk menjadi “garam dan terang” (Matius 5:13-16) bagi lingkungan di sekitarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top